Ketika saya duduk di kelas empat SD, guru saya mengatakan bahwa jumlah bilangan genap sama banyaknya dengan jumlah seluruh bilangan bulat. Awalnya, itu terdengar mustahil. Bagaimana mungkin bagian dari sesuatu bisa sebesar keseluruhannya?
Namun, dalam matematika, ukuran dua himpunan tak hingga dianggap sama jika elemen-elemennya bisa dipasangkan satu-satu. Seperti jari tangan kanan dan kiri—meski kita tidak menghitung jumlahnya, kita tahu keduanya sama karena bisa dipasangkan langsung. Inilah prinsip yang digunakan saat membandingkan himpunan tak hingga.
Untuk membuktikannya, bayangkan kita menuliskan semua bilangan bulat secara berurutan, lalu di bawahnya kita tulis hasil perkalian masing-masing bilangan dengan dua. Baris bawah berisi semua bilangan genap, dan setiap bilangan di baris atas bisa dipasangkan satu-satu dengan bilangan di baris bawah. Maka, meski bilangan genap tampak lebih sedikit, jumlahnya sama banyak dengan bilangan bulat: tak hingga yang sama besar.
Tapi ketika kita mencoba mencantumkan semua bilangan pecahan (rasional), terlihat lebih sulit. Ada sangat banyak pecahan dan tidak jelas bagaimana mengurutkannya. Namun, Georg Cantor menemukan bahwa semua pecahan bisa dimasukkan ke dalam bentuk kisi (grid), lalu kita menyapunya secara diagonal sambil melewati duplikasi seperti 2/2 = 1/1. Hasilnya? Kita bisa menyusun daftar pecahan, membuktikan bahwa bilangan pecahan memiliki ukuran tak hingga yang sama dengan bilangan bulat.
Namun, tidak semua bilangan adalah pecahan. Bilangan seperti √2 dan π adalah irasional—mereka tidak bisa ditulis sebagai rasio dua bilangan bulat. Mereka berupa desimal tak berulang dan tak berakhir. Bisakah kita membuat daftar semua bilangan desimal, termasuk yang rasional dan irasional?
Cantor membuktikan bahwa kita tidak bisa. Ia menciptakan metode yang dikenal sebagai diagonalization argument. Ia menunjukkan bahwa jika kamu mengklaim punya daftar semua bilangan desimal, dia bisa membuat satu bilangan baru yang tidak ada di daftar dengan cara mengubah satu digit dari tiap bilangan dalam posisi diagonal. Maka selalu ada satu bilangan yang luput, artinya daftar itu tidak lengkap.
Inilah kesimpulan mengejutkan: jumlah bilangan real (desimal) lebih besar dari jumlah bilangan bulat, meskipun keduanya sama-sama tak hingga. Ini memperkenalkan gagasan bahwa ada lebih dari satu ukuran tak hingga. Faktanya, Cantor menunjukkan bahwa setiap kali kamu membuat himpuan dari semua subset sebuah himpunan, kamu akan mendapat tak hingga yang lebih besar lagi. Tak hingga yang semakin membesar—tanpa akhir.
Penemuan Cantor tidak diterima dengan mudah. Banyak matematikawan besar pada zamannya menolak gagasan tersebut. Cantor sendiri menghadapi tekanan psikologis hebat hingga menghabiskan hidupnya keluar-masuk rumah sakit jiwa. Namun akhirnya, teorinya diakui sebagai terobosan luar biasa dan kini menjadi bagian dari dasar matematika modern.
Salah satu pertanyaan terbesar yang lahir dari pemikiran Cantor adalah: apakah ada ukuran tak hingga di antara bilangan bulat dan bilangan real? Inilah yang disebut hipotesis kontinuum. Georg Cantor meyakini jawabannya “tidak”, tapi tidak bisa membuktikannya. Pada tahun 1900, David Hilbert menjadikan ini masalah matematika nomor satu yang belum terpecahkan.
Abad ke-20 membawa jawaban mengejutkan. Kurt Gödel membuktikan bahwa hipotesis kontinuum tidak bisa dibuktikan salah, dan Paul Cohen kemudian menunjukkan bahwa tidak bisa dibuktikan benar. Ini berarti: ada pertanyaan dalam matematika yang tidak bisa dijawab. Bagi dunia logika dan akal sehat, ini adalah pukulan besar.
Meski demikian, keindahan matematika justru terletak di situ—bahwa bahkan dalam kerangka logika paling ketat pun, masih ada ruang untuk keajaiban dan misteri. Tak hingga, ternyata, bukan hanya besar. Ia bisa lebih besar dari besar, dan kita masih jauh dari memahami semuanya.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.