Dalam percakapan sehari-hari, kadang kita bicara secara langsung: “Saya ke toko, kembali lima menit lagi.” Namun di lain waktu, kita memilih cara yang lebih imajinatif: “Hujan turun seperti kucing dan anjing.” Inilah metafora—cara menggambarkan sesuatu dengan menyebut hal lain yang berbeda.
Mungkin terdengar rumit, tapi sebenarnya tidak. Manusia mengenal dunia pertama kali melalui indra: melihat, mendengar, mencicipi. Itulah mengapa gambaran konkret seperti “rasa pedas cabai” atau “duri di tangga kehidupan” terasa lebih nyata daripada penjelasan abstrak.
Metafora memberi kesan yang mendalam bukan karena logikanya, tapi karena rasa dan citra yang ditimbulkannya. Misalnya, kita tak membayangkan benar-benar ada hujan berbentuk anjing, tapi kita tahu bahwa yang dimaksud adalah hujan deras—dan mungkin, hanya anjing kecil seperti beagle yang cocok dalam bayangan kita.
Satu keunikan metafora: ia tidak benar atau salah seperti pernyataan ilmiah. Ia lebih seperti seni daripada sains. Namun tetap bisa terasa benar atau keliru. Kamu paham makna “rasa seperti roda kotak,” tapi merasa bingung jika disebut “lelah seperti paus”.
Metafora, Simile, dan Imajinasi
Sebagian metafora memakai kata “seperti” atau “bagai”. Ini disebut simile. Kalimat seperti “manis seperti madu” mengakui bahwa ia sedang membandingkan. Sementara metafora seperti “hidup adalah panggung” (Shakespeare) terasa lebih langsung dan kuat dibanding “hidup seperti panggung.”
Metafora juga bisa tersembunyi dalam kata kerja dan kata sifat. Emily Dickinson menulis, “Langit dijahit tertutup,” dan kita seketika membayangkan langit sebagai kain yang dijahit—tertutup, tak bisa ditembus. Kalimat “air tenang menghanyutkan” juga menggunakan metafora untuk menggambarkan kedalaman pikiran seseorang yang tenang.
Puisi: Rumah Bagi Metafora
Puisi adalah tempat terbaik untuk menemukan metafora yang menggugah. Dalam sebuah haiku karya Issa, tertulis:
“Di atas ranting yang hanyut di sungai,
seekor jangkrik bernyanyi.”
Gambaran itu sederhana, tapi menyimpan makna tentang hidup di tengah aliran waktu. Seperti jangkrik itu, kita pun hidup—dan bernyanyi—meski tahu pada akhirnya akan hanyut juga.
Dalam puisi Langston Hughes, “Life for me ain’t been no crystal stair,” hidup digambarkan sebagai tangga rusak penuh paku dan serpihan. Kita ikut merasakan pedihnya, karena metafora itu menyentuh lebih dari sekadar deskripsi rumah.
Atau puisi pendek dari Carl Sandburg:
“Kabut datang dengan langkah kaki kucing.”
Metafora ini membuat kita merasakan kabut, bukan hanya melihatnya.
Penutup: Metafora Membentuk Dunia
Metafora bukan teka-teki tersembunyi, melainkan cara merasakan dan memahami sesuatu secara berbeda. Mereka adalah gagang pintu menuju ruang-ruang baru dalam pikiran dan imajinasi. Dan yang luar biasa adalah: dengan menciptakan metafora, kita bisa menciptakan dunia.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.