Suatu hari, saya berdiri di puncak gunung salju, bersiap menghadapi lintasan terakhir dalam sebuah ajang terbesar dalam hidup: Olimpiade. Saat itu, saya berdiri bersama tiga rekan tim bobsled saya, di ambang kesempatan untuk mencatatkan sejarah. Namun, sebelum kereta luncur meluncur, sekejap pikiran saya melayang—kembali ke dua keputusan penting yang membawa saya ke titik ini.
Keputusan pertama saya buat setelah lima tahun bergulat dengan cedera sebagai atlet lari. Lima tahun itu terasa menyakitkan—baik secara fisik maupun emosional. Meski saya mencintai dunia atletik, cedera yang terus berulang mengikis semangat dan rasa percaya diri saya. Titik baliknya adalah ketika saya menjalani operasi besar pada siku dan duduk termenung di atas sofa rumah.
Dalam keheningan itu, saya teringat ucapan seorang pelatih lama, yang pernah mengatakan saya cocok menjadi atlet bobsled. Saat itu saya menertawakannya. Tapi setelah kegagalan demi kegagalan di lintasan lari, mungkin sudah saatnya mencoba jalan lain. Saya menghubungi Komite Olimpiade AS, dan mereka mendorong saya untuk mulai berlatih. Dan di situlah awalnya—saya memutuskan untuk menjadi atlet bobsled, meskipun saya belum tahu apa-apa soal olahraga itu.
Seiring waktu, saya berlatih tanpa henti dan akhirnya berada di titik paling menentukan: mendorong kereta “Night Train” bersama tim saya dalam upaya meraih medali emas. Ketika kami mulai meluncur dan kecepatan meningkat, saya mengingat keputusan kedua saya—keputusan untuk tidak lagi menjadi korban dari cedera dan keraguan.
Saya menyadari bahwa saya harus mengambil tanggung jawab penuh atas tubuh dan pikiran saya. Jika saya terus takut cedera, maka rasa takut itulah yang akan melumpuhkan saya. Saya memilih untuk percaya pada diri sendiri, untuk berani berubah, dan melepaskan pola pikir lama yang hanya membawa batasan.
Dan keputusan itu membuahkan hasil. Setelah lima tahun penuh cedera, saya melewati sembilan tahun tanpa absen dalam satu pun lomba yang saya ikuti untuk tim nasional dan Olimpiade. Saat sled kami melaju hingga 95 mil per jam di lintasan terakhir, sorakan penonton dan bunyi lonceng menggema. Kami hanya mendengar teriakan “You!”, padahal mereka meneriakkan “USA!”—dan ketika kami menatap papan waktu, angka yang terpampang hanya satu: 1.
Kami telah melakukannya. Kami menjadi juara Olimpiade. Impian seumur hidup saya terwujud dalam hitungan detik. Di tengah sorak sorai, saya melihat keluarga saya menangis bahagia di tribun. Dan saya tahu: dua keputusan itu—yang lahir dari keheningan dan kejujuran diri—telah mengubah segalanya.
Kini, saya ingin menantang Anda. Apa dua keputusan yang bisa Anda buat dan pegang teguh untuk mengubah hidup Anda? Lihat ke dalam diri Anda, dan tanyakan: apa mimpi yang benar-benar ingin Anda kejar?
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.